Penulis : Geofani Milthree Saragih
Pada tanggal 2 November 2020 yang lalu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) resmi ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia dan mulai berlaku efektif mulai tanggal 3 November 2020.
Bila dilihat kebelakang, pemberlakuan dari UU Cipta Kerja ini merupakan salah satu kampanye politik dari Presiden Jokowi. Menjelang akhir tahun 2019. Salah satu materi pidato yang disampaikan oleh Presiden terpilih pada saat itu di dalam sidang Paripurna MPR adalah ajakan terhadap DPR untuk menerbitkan salah satu undang-undang yang dimana undang-undang tersebut akan merevisi beberapa undang-undang bahkan puluhan undang-undang, yang dimana metode tersebut dikenal dengan Omnibus Law.
UU Ciptaker yang diberlakukan oleh Pemerintah tersebut banyak menerima respon penolakan dari rakyat Indonesia. Mulai dari aksi turun ke lapangan sampai dengan jalur konstitusional, yaitu mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi baik secara materil maupun formil. Kritikan tidak hanya datang dari rakyat Indonesia saja, banyak pakar hukum Indonesia yang juga memberikan pandangan terhadap pemberlakukan UU Cipta Kerja tersebut. Akibat pembahasannya yang begitu cepat (dengan beribu pasal yang ada di dalamnya), Bivitri Susanti mengatakan bahwa proses legislasi UU Cipta Kerja adalah yang paling buruk dalam sejarah Indonesia.
Menurut hemat penulis, yang menjadi permasalahan paling utama adalah proses pembentukannya. Ada beberapa perbedaan antara teknik pembentukan undang-undang yang biasa digunakan di Indonesia dengan metode Omnibus Law tersebut. Kemudian, perlu untuk diketahui, bahwa metode Omnibus Law tidak dikenal di dalam hukum positif Indonesia. Yang akan dibahas oleh penulis adalah apa sebenarnya landasan berfikir yang mendorong pemerintah bersama dengan DPR untuk menggunakan metode Omnibus Law dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja yang dimana metode tersebut tidak ada dalam hukum positif Indonesia?.
Yang menjadi hal yang sangat menarik yang akan dibahas oleh penulis adalah latar belakang pemikiran yang digunakan oleh Pemerintah dan DPR dalam hal proses pengajuan hingga pengundangan UU Cipta Kerja tersebut ditelaah dari perspektif pemikiran Jhon Austin tentang hukum adalah perintah dari penguasa (yang berdaulat dalam suatu negara). Karena sudah sangat jelas bahwa dalam hukum positif di Indonesia tidak mengenai metode Omnibus Law tidak dikenal dalam hukum positif di Indonesia, terlebih materi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja banyak menerima penolakan dari berbagai golongan mulai dari rakyat biasa hingga pakar hukum di Indonesia.
Namun, tetap saja metode Omnibus Law tersebut digunakan dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan diberlakukan. Dalam hal ini, peneliti akan menganalisis bagaimana sebenarnya konsep berfikir yang digunakan oleh Pemerintah terlebih yang mengajukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tersebut dari beberapa pandangan Jhon Austin.
Hukum Adalah Perintah Dari Penguasa Negara
Pandangan utama Jhon Austin tentang hukum ini mungkin yang paling tampak dari pembentukan hingga perundangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Tersebut. Bagaimana tidak, karena telah jelas bahwa pembentukan dari UU Cipta Kerja tersebut yaitu dengan metode Omnibus Law tidak dikenal di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Sebagai negara yang sangat ketara dengan hukum positif yang sangat jelas ditegaskan secara konstitusional di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka seharusnya segala tindakan yang dilakukan di negara Indonesia termasuk pemerintah adalah harus berlandaskan pada hukum. Seperti yang sudah ditegaskan sebelumnya, bahwa metode Omibus Law tidak dikenal di dalam hukum positif di Indonesia.
Omnibus Law sendiri merupakan suatu metode yang dapat merevisi lebih dari satu undang-undang sekaligus. Konsep Omnibus Law berkembang di negara-negara cummon law dengan sistem hukum anglo saxon seperti di Amerika Serikat, Belgia, Inggris dan Kanada. Sebenarnya, metode Omnibus Law memiliki tujuan yang baik secara metode, karena dengan menggunakan metode Omnibus Law akan dapat melaksanakan pembenahan pembenahan terhadap permasalahan yang disebabkan dari peraturan yang begitu banyak (over regulation) dan tumpang tindih (overlapping) hanya dengan sekali perbaikan saja.
Seperti yang dijelaskan oleh Maria Farida, bahwa di Indonesia teori yang digunakan dalam hal hierarki peraturan perundang-undangan adalah teori stufenbau dari Hans Kelsen. Hans Kelsen mengembangkan teori tersebut setelah melihat dan mengilhami pemikiran dari kolega juniornya yang bernama Adolf Merkl, di Universitas Vienna. Menurut Adolf Merkl suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya.
Sehingga, pada intinya Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum itu bersifat hierarkis, yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi derajatnya. Teori inilah yang sebenarnya dianut di Indonesia, perubahan yang dilakukan hanya terhadap satu undang-undang saja dan harus sesuai dengan jenjang norma (stufenbau theori) yang ada. Mengenai jenjang norma di Indonesia, telah diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hierarki norma (perundang-undangan) di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. 1. Undang-Undang Dasar 1945;
b 2. Ketetapan MPR;
c. 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. 4. Peraturan Daerah;
e. 5. Peraturan Presiden;
f. 6. Peraturan Daerah Provinsi;
g. 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan dasar hukum dan teori hukum yang telah dipaparkan diatas, maka jelas apa yang disebutkan oleh Jhon Austin di dalam teorinya yang salah satunya menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara telah tampak dari realitas hukum di Indonesia, terkhusus dalam hal ini adalah pembentukan hingga pengesahan dari UU Cipta Kerja. Pemerintah sebagai pihak yang mengajukan RUU Cipta Kerja seakan-akan hanya memikirkan bahwa hukum yang telah mereka rancang sedemikian rupa sudah tepat, karena mereka memiliki otoritas dalam membentuk hukum, yang dalam hal ini adalah mengajukan Rancangan undang-undang sebagai mana yang disebutkan di dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Terlebih, fakta bahwa pemberlakuan dari UU Cipta Kerja merupakan salah satu agenda strategis dari pemerintahan Presiden Jokowi yang disampaikan pada saat pidato pelantikannya di depan MPR RI.
Sehingga, menurut hemat peneliti bahwa paradigma yang digunakan oleh Pemerintah bersama dengan DPR dalam hal pembahasan hingga pengundangan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja adalah bahwa hukum adalah perintah dari negara, sehingga berani memberlakukan suatu hukum yang jelas dalam hal metode yang digunakan tidak dikenal di dalam hukum positif Indonesia dan bahkan terang banyak penolakan dari rakyat Indonesia terhadap pemberlakuannya.
Referensi :
1.https://nasional.kompas.com/jeo/naskah-lengkap-pidato-presiden-joko-widodo-dalam pelantikanperiode-2019-2024, diakses, tanggal 17 Desember 2021.
2.https://nasional.kompas.com/read/2020/10/23/09441911/banyak-penolakan-pemerintah diminta-tunda-pemberlakuan-uu-cipta-kerja, diakses, tanggal 17 Desember 2021.
3.https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54768000, diakses, tanggal 17 Desember 2021.
4. Antoni Putra, 2020, ”Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi”, Artikel Pada Jurnal Legislasi Indonesia, Edisi. 17, No. 1 Maret.
5. S, Maria Farida Indrati, 2019, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
6. Riyanto, Astim, 2009, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung.
7. Bayu Dwi Anggono, 2020, ”Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang: Peluang Adopsi dan Tantangannya Dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia”, Artikel Pada Jurnal Rechtsvinding, Edisi. 9, No. 1 April.
1 Comments
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSilahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)