Dalam sistem penyelesaian sengketa perdata di Indonesia umumnya dikenal dua metode yang dapat ditempuh yaitu : 1) penyelesaian secara litigasi; 2) penyelesaian secara non-litigasi.
Penyelesaian secara litigasi dilaksanakan melalui peradilan umum seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung. Penyelesaian secara non-litigasi dilaksanakan melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) dan arbitrase.
Pada tulisan ini yang menjadi fokus pembahasan dari penulis adalah mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang ruang lingkup penyelesaiannya meliputi sengketa perdagangan dan sengketa atas suatu hak yang kekuasaanya secara penuh dimiliki oleh pihak yang bersengketa.
Secara bahasa Arbitrase berasal dari bahasa latin yaitu “arbitrarare” yang memiliki makna kekuasaan untuk menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan kebijaksanaan. Menurut R. Subekti arbitrase merupakan penyelesaian sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang ditunjuk oleh pihak bersengketa, dan pihak bersengketa tunduk terhadap keputusan yang akan diberikan oleh wasit atau para wasit tersebut.
H.M.N. Purwosutjipto memberikan pengertian terhadap arbitrase sebagai perwasitan, “perwasitan ini merupakan peradilan perdamaian, yang mana para pihak bersepakat agar perselisihan tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak” Priyatna Abdurrasyid berpendapat bahwa arbitrase merupakan “suatu proses pemeriksaan terhadap sengketa yang dilakukan secara yudisial berdasarkan kehendak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak”.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa arbitrase mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1) merupakan suatu metode untuk menyelesaikan suatu sengketa; 2) penyelesaian tersebut haruslah dikehendaki oleh pihak yang bersengketa sebagai hukum yang mengikat bagi para pihak; 3) para pihak dapat menyepakati untuk menunjuk pihak yang tidak memihak untuk memberikan keputusan berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan oleh pihak yang bersengketa.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase pasal 1 angka 1, istilah arbitrase merujuk kepada suatu cara menyelesaikan sengketa perdata diluar peradilan umum berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa baik sebelum maupun sesudah sengketa itu terjadi. Seperti misalnya pihak A dan B melakukan suatu perjanjian dan menuangkannya dalam kontrak perjanjian, pada klausul penyelesaian sengketa para pihak sepakat apabila terjadi permasalahan akan menyelesaikannya melalui badan arbitrase yang disepakati oleh kedua belah pihak. Apabila telah terjadi sengketa yang kemudian ternyata tidak mencantumkan cara penyelesaian melalui arbitrase pada kontrak perjanjian, namun kedua belah pihak ingin menyelesaikan sengketa melalui badan arbitrase, maka perjanjian arbitrase dapat dibuat secara tersendiri.
Latar belakang dibentuknya arbitrase adalah karena adanya kebutuhan di masyarakat untuk menyelesaikan sengketa terkait perdagangan secara efektif dan efisien, pengadilan negara dianggap kurang mampu untuk memenuhi hal tersebut karena pengadilan negara bersifat kaku serta memiliki normatif prosedural dalam konkretisasi hukum, faktor-faktor ini kemudian membuat penyelesaian sengketa dapat terjadi dengan sangat lama, padahal pada permasalahan perdagangan kerap kali para pihak ingin segera menyelesaikan permasalahan secara cepat, belum lagi terkadang para hakim yang mengadili sengketa tertentu tidak memiliki kompetensi yang lebih terkait permasalahan yang diselesaikan, sehingga arbitrase sebagai pengadilan swasta menjadi solusi untuk menyelesaikan suatu sengketa perdagangan secara efektif dan efisien.
Arbitrase bukanlah hal baru dalam sistem penyelesaian sengketa di Indonesia, menilik pada sejarah penyelesaian sengketa perdata yang pernah berlaku di Indonesia seperti dalam Rv/HIR/RBg yang berlaku pada masa pemerintahan Belanda. Arbitrase pada masa itu umumnya digunakan untuk menyelesaikan permasalahan perdagangan di kalangan pedagang, pemerintah kolonial membentuk badan arbitrase yang terdiri dari: a) Organisasi Eksportir Hasil Bumi Indonesia; b) Organisasi Asuransi Kebakaran Indonesia; c) Organisasi Kecelakaan Indonesia.
Ketentuan arbitrase yang berlaku bagi para pihak ini tercantum dalam Pasal 615 ayat (1) Rv yang menyatakan bahwa “adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit”, ketentuan ini mengikat kepada Golongan Eropa namun Orang Indonesia dan Orang Timur Asing juga dapat menggunakan penyelesain melalui juru pisah jika menghendaki, hal ini tercantum dalam Pasal 377 HIR/Pasal 705s RBg yang berbunyi: “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu sudah dikenal penyelesaian sengketa perdagangan melalui arbitrase atau juru pisah yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa perdagangan berbentuk keputusan, serta para pihak memiliki kewajiban untuk tunduk menuruti peraturan hukum yang berlaku.
Kemudian pada tahun 1999 pemerintah Indonesia pada akhirnya membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (UU Arbitrase), ketentuan ini berimplikasi kepada tidak lagi berlakunya ketentuan arbitrase dalam Rv/HIR/RBg dan UU Arbitrase menjadi pedoman dalam pelaksanaan arbitrase di Indonesia. Arbitrase memiliki berbagai keunggulan sebagai suatu metode penyelesaian sengketa yang dapat dilihat dari :
1. Fleksibilitas Badan Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase pada faktanya lebih fleksibel. Para pihak dapat menentukan Badan arbitrase yang disepakati, siapa arbiternya, substansi hukum, choice of law, choice of jurisdiction, choice of forum yang pada intinya setiap pihak memiliki kebebasan untuk mengatur bagaimana hukum yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa (Party of otonomy). Fleksibilitas ini berguna untuk mencapai penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien oleh pihak yang memang kompeten terhadap suatu bidang tertentu.
Fleksibilitas arbitrase menjadi keuntungan sebab dalam melakukan kontrak seringnya para pihak yang terlibat tidak hanya berasal dari satu negara yang sama, kemudian juga objek yang disengketakan para pihak bersifat variatif. Sebagai contoh, Z berasal dari negara Indonesia dan melakukan perjanjian kerjasama terkait konstruksi dengan A yang berasal dari negara Inggris, secara aturan hukum perdata dalam menyelesaikan masalah apabila terjadi sengketa antara dua individu yang berbeda kenegaraannya tersebut tentu memiliki pendekatan yang berbeda, sehingga perlu suatu cara penyelesaian sengketa yang mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak secara netral, arbitrase menjadi solusi yang paling tepat karena para pihak dapat menentukan apabila terjadi sengketa substansi hukum apa yang akan digunakan, yurisdiksi mana yang berwenang menyelesaikan sengketa, siapa arbiter kompeten yang memahami permasalahan terkait.
2. Sifat Kerahasiaan Arbitrase
Salah satu perbedaan antara penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan arbitrase adalah sifatnya yang tertutup. Pada pengadilan umumnya sidang bersifat dibuka dan terbuka untuk umum, sedangkan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak ada kewajiban untuk melakukan publikasi terhadap proses penyelesaian. Padahal dalam konteks permasalahan perdagangan terkadang ada hal-hal yang tidak ingin dipublikasikan kepada umum oleh para pihak yang merupakan bagian dari rahasia dagang, hal lainnya adalah juga terkait usaha para pihak untuk menjaga nama baik dan citra pihak yang bersengketa
3. Efektivitas dan Efisiensi Penyelesaian Sengketa
Arbitrase dalam penyelesaian sengketa menghasilkan suatu putusan yang sifatnya final dan mengikat, bahwa terhadap putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut mengikat bagi para pihak yang bersengketa, sehingga penyelesaian sengketa melalui arbitrase bersifat efektif. Kemudian juga arbitrase efisien dalam menyelesaikan sengketa sebab terdapat batasan waktu dalam melakukan pemeriksaan atas sengketa yaitu maksimal 180 (seratus delapan puluh) hari sejak terbentuknya arbiter atau majelis arbitrase.
Dalam Undang-Undang Arbitrase Pasal 59 ayat (1) dinyatakan bahwa “dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri” ketentuan ini menunjukkan masih adanya korelasi antara arbitrase dan pengadilan negeri, bahwa hal ini merupakan bentuk dukungan lembaga pengadilan terhadap penyelesaian sengketa bersifat non-litigasi di Indonesia terkait dengan pelaksanaan putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat. Ketentuan ini menjadi dasar bagi negara untuk turut campur dalam “memaksa” para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan putusan arbitrase apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.
Indonesia mengakui eksistensi dua jenis badan arbitrase yang kemudian memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa para pihak, yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional. Perbedaan mendasar dari kedua jenis arbitrase ini adalah sifat dan tujuannya, bahwa arbitrase ad hoc bersifat sementara, tidak terkoordinasi oleh suatu lembaga, dan dibentuk secara khusus untuk memutus sengketa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu, setelah memutus perkara maka arbitrase ad hoc ini akan berakhir.
Sedangkan Arbitrase Institusional bersifat permanen, dikoordinasi oleh suatu lembaga, dan akan tetap ada bahkan setelah memutus sengketa tertentu. Arbitrase Institusional di Indonesia diantaranya adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia (BAKTI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI).
0 Comments
Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)