PROBLEMATIKA TENAGA KERJA MEMBLUDAK, MAMPUKAH HUKUM BERTINDAK?

 Penulis : Viona Margaretha

Ketenagakerjaan bukanlah sebuah sistem baru dalam dunia perekonomian, melainkan merupakan suatu sistem yang telah ada beriring dengan lonjakan penduduk masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu negara dengan tingkat penduduk tertinggi 4 dunia  dengan populasi sebanyak 272.229.372 jiwa, dengan jumlah populasi laki-laki 137.521.557 jiwa dan perempuan 134.707.815 jiwa  tentunya berpotensi meningkatkan angka tenaga kerja di Indonesia. 

Hal ini dibuktikan oleh data Badan Pusat Statistika(BPS)yang melaporkan pada Agustus 2021 jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak  140,15 juta orang, naik 1,93 juta orang dibanding Agustus 2020. Sementara Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja(TPAK)naik sebesar 0,03 persen poin. Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar adalah sektor industri pengolahan(0,65 persen poin). 

Lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan terbesar, yaitu sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan(1,43 persen poin)sebanyak 77,91 juta orang(59,45 persen)bekerja pada kegiatan informal, turun 1,02 persen poin dibanding Agustus 2020. Persentase pekerja paruh waktu naik sebesar 1,03 persen poin, sementara persentase setengah pengangguran turun 1,48 persen poin dibandingkan Agustus 2020. Jumlah pekerja komuter pada Agustus 2021 sebanyak 7,34 juta orang, naik sebesar 330 ribu orang dibanding Agustus 2020.  

Dengan adanya lonjakan angka tenaga kerja di Indonesia, berpotensi menuai diskriminasi pada tenaga terlebih ketika hukum tak mampu menunjukkan‘kepak-an sayapnya’yang siap menaungi siapapun yang tertatih. Sehingga ’keadilan jadi barang sukar, ketika hukum hanya tegak pada yang bayar’-----Najwa Shihab. 

Secara definitif, pekerja/buruh dan tenaga kerja telah diatur secara tegas oleh undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hukum ini mengatur segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah kerja. Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah/imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan pada angka 3, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 

Pemberi kerja maupun pekerja terikat dan saling berkaitan di dalam perjanjian kerja atau dikenal dengan hubungan kerja. Kendati tidak dilengkapi oleh lembar perjanjian yang ditandatangani di atas materai oleh masing-masing pihak, namun hubungan kerja tersebut dapat disebut hubungan hukum dan kedua belah pihak harus tunduk pada ius constitutum Indonesia. Memang hubungan kerja itu merupakan privat, namun negara tetap hadir dalam mengatur hal-hal tertentu melalui undang-undang dan negara harus siap memberikan keadilan apabila menyangkut pelanggaran HAM dan tentunya pelanggaran hukum. 

Sebagai contoh pada pasal 183-188 UU Ketenagakerjaan yang mengatur sanksi pidana dan pada pasal 189 juga ditegaskan bahwa pemberi kerja tetap harus membayar hak-hak/ganti rugi kepada tenaga kerjanya walaupun pemberi kerja tersebut sedang dalam proses pidana. Namun fakta berbicara lain, hukum kerap tidak berpihak kepada korban(yang akan penulis jelaskan pada naskah opini penulis selanjutnya.) 

Problematika yang kian digeluti oleh para pencari keadilan, sistematika resolusi yang dihadirkan justru terkesan hanya bermain cantik dalam sampul kehidupan masyarakat, padahal nyatanya, hukum telah dibuka celahnya oleh yang‘gagah’. Jujur saja, penulis kerap menerima berbagai opini masyarakat terhadap efektivitas hukum dalam melindungi hak pekerja. Banyak yang mengatakan bahwa hukum itu ibarat mutiara di dasar lautan lepas, yang hanya akan ada 2 pilihan setelah berupaya mencapainya. Mati, atau hidup karena keberuntungan. 

Sungguh keagungan hukum kerap goyah. Supremasi hukum kian menuai tanda tanya dan yang mirisnya, kepercayaan masyarakat akan hukum kian merosot dengan tajamnya. Pilihannya hanya dua. Berbenah atau punah?

Disinilah penulis pula ingin mengajak para pembaca untuk mengutip suatu teori yang memiliki relasi kuat untuk mendeskripsikan hakikat sebuah hukum. Penulis yakin bahwa masyarakat telah bijak dalam melakukan komparasi hukum terhadap fakta dan teori yang selalu digaungkan. Lawrence M Friedman mengemukakan bahwa efektifitas dan berhasil atau tidaknya kinerja penegakan hukum tergantung pada 3 unsur sistem hukum,yakni struktur hukum(structure of law),substansi hukum(substance of the law) dan budaya hukum(legal culture). 

Untuk merentas stigma dan asumsi negatif masyarakat bukanlah dengan menunjukkan‘taring’hukum kepada kaum lemah dan memberi senyum manis pada kaum yang kuat dengan dalil hukum-itu-pasti. Namun dengan menegakkan 3 unsur sistem hukum secara proporsional, kontinu, mengedepankan integritas dan profesionalisme niscaya mampu menunjukkan betapa agungnya hukum itu yang tentunya membangun kembali citra hukum dalam kacamata masyarakat. 

Sebagai pihak yang kerap berada dalam posisi lemah, tenaga kerja terkhusus wanita dan kaum disabilitas juga dihantui oleh ketakutan. Penulis sadari, sebagian besar wanita dan penyandang disabilitas rela bekerja ketika dipaksa oleh keadaan ekonomi. Seperti contoh kecilnya saja adalah kasus PT.Alpen Food Industry(AFI)/Aice yang melakukan diskriminasi terhadap pekerja buruh wanita,  Federasi Buruh Lintas Pabrik(FBLP)mencatat, pelecehan seksual banyak terjadi di pabrik garmen. Pasalnya 99 persen pekerja di pabrik garmen adalah perempuan. ,PT Lingga Sakti Indonesia yang memukuli dan mencekik enam karyawannya, kekerasan fisik dan verbal juga kerap dialami oleh para pekerja di pabrik Nike dan Converse di Sukabumi pada Juli 2011 dan masih banyak lagi kasus serupa yang bahkan tenaga kerja memilih untuk membungkam sebab takut keadilan tidak berpihak padanya.

Dikutip dari data Kementerian Tenaga Kerja menyebutkan tindakan diskriminasi terhadap para tenaga kerja di Indonesia selama ini masih cukup tinggi, yakni pada kisaran 30%. Padahal jika kita berpegang teguh pada Undang-Undang Ketenagakerjaan pasal 6, disebutkan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pemberi kerja.Diperkuat dengan adanya Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Jadi sudah sepantasnya pekerja tetap diperlakukan adil tanpa diskriminatif. Sebagaimana orientasi pembentukan hukum.

Sebagai penutup, Penulis ingin menegaskan bahwa dalam melaksanakan tujuan hukum ini haruslah menggunakan asas prioritas. Menurut Gustav Radbruch, hukum itu pada hakikatnya mengandung 3 (tiga) nilai identitas yang juga merupakan tujuan hukum, yakni :

Pertama,asas kepastian hukum (rechtmatigheid), asas ini meninjau dari sudut pandang yuridis.

Kedua, asas keadilan hukum (gerectigheit), asas ini meninjau dari sudut pandang filosofis, keadilan aalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.

Ketiga, asas kemanfaatan (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility).   

Dunia boleh saja berbicara bahwa semua lini kehidupan telah diwarnai dan harus beradaptasi dengan tantangan zaman demi mengais rezeki dan mengukir secercah harapan dalam bertahan hidup. Akan tetapi, hukum tetaplah siap siaga menjadi‘wasit netral’dalam pertarungan penegakan keadilan. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Inilah yang akan merusak citra tenaga kerja di negeri ini. Mari pantau implementasi hukum ketenagakerjaan di negeri ini! mari junjung keadilan dan kebenaran!


Post a Comment

0 Comments