Penulis : Viona Margaretha
Sebelum penulis membawa pembaca ke dalam alur pemikiran kritis penulis, sebaiknya membaca naskah esay sebelumnya yang berjudul “PROBLEMATIKA TENAGA KERJA MEMBLUDAK, MAMPUKAH HUKUM BERTINDAK?”
Indonesia adalah negara hukum. Singkat dan mengikat. Kuat dan bermartabat. Namun lucu ketika kata tinggallah kata, tanpa berusaha mengokohkan makna. Kisah ini adalah kisah nyata, yang penulis angkat bukanlah untuk mencemarkan atau menodai instansi maupun perorangan namun justru murni untuk menegakkan keadilan.
Sehingga hukum kini bukanlah tinggal impian namun akan menjadi kenyataan. Sebuah kisah tentang keruhnya air keadilan dalam samudra nan luas.
Ilham Lubis, akrab disapa Ilham, mengatakan bahwa ia merupakan salah satu pegawai sdr A.Mangunsong tinggal di Duri sejak 2 Februari 2021 dengan upah/gaji 1 juta rupiah per bulannya. Dengan jenis pekerjaan membantu/kernek yang tugasnya melaser minyak untuk beko, mispot alat dan antar pekerja lain untuk menjalankan alat berat bullduser(beko)yang dilakukan oleh (sopir/operator I dan II)oleh sdr A.Simbolon sebagai operator I dan sebagai operator II Wanto Siregar. Beberapa bulan kemudian Ilham yang dalam hal ini sebagai korban terjadi insiden kecelakaan kerja dengan tanpa adanya pengawasan atau menggunakan safty/pelindung anggota tubuh bagi pekerja yang sejatinya merupakan tanggungjawab mutlak sdr.A. Mangungsong selaku pemberi kerja.
Hal itu mengakibatkan luka yang sangat serius terhadap korban dan korban harus dirawat di RSUD Prov Riau sejak 3 Mei 2021 hingga 3 Agustus 2021. Artinya, telah 3(tiga)bulan sejak kejadian tersebut, korban tidak dapat bekerja. Ia harus menderita cacat tetap, dan mirisnya, korban tidak pernah mendapat pertanggungjawaban baik secara materil maupun psikologis atau seminimalnya dijenguk oleh pemberi kerja. Padahal sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat (3) undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berbunyi:”Pemberi kerja sebagaimana dimaksud ayat(1)dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberi perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.”dan sudah sepantasnya pasal 186 ayat(1)uu a quo diberlakukan kepadanya, adapun pasalnya memberikan ancaman penjara selama 4(empat) tahun dan denda minimal Rp.10.000.000,-(sepuluh juta)dan Rp.400.000.000,-(empat ratus juta)minimal.”
Tak hanya menyangkut pemberian keamanan terhadap pekerja, pemberi kerja juga lalai atau lebih tepatnya dapat dikatakan sengaja melakukan untuk tidak memberi upah/gaji yang semestinya diterima dengan dalil bahwa korban tidak dapat bekerja sehingga tidak perlu diberi upah. Padahal jika kita berpikir dengan akal sehat, sangat tidak mungkin seseorang yang terkena luka yang sangat serius dapat bekerja sebagaimana mestinya terlebih dengan cacat tetap yang dialaminya.
Rasanya geram ketika hukum yang seharusnya menjadi pedoman dalam hubungan hukum antara pekerja dan pemberi kerja justru tergelincir begitu mudah sehingga tidak dianggap serius oleh pemberi kerja. Pelanggaran hukum terus dilakukan. Perjuangan demi keadilan terus digelorakan. Walau semangat terus dihardik, namun harap akan keadilan terus dilukis dalam menghadapi setiap prosedur hukum.
Pemberi kerja tidak memberi upah/gaji sebesar Rp.1.800.000,-/bulan hingga saat ini. Jika kita telusuri lebih dalam, pekerjaan yang berdomisili di regional kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, telah menyelewengi aturan pasal 91 ayat(1) uu a quo yang pada intinya pengupahan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum Provinsi atau kabupaten/kota sehingga pada pasal 186 ayat (1) ditekankan sanksi pidana penjara 4(empat)tahun dan denda minimal Rp.10.000.000,-(sepuluh juta) dan Rp.400.000.000,-(empat ratus juta)maksimal dapat dijatuhkan kepada si pemberi kerja. Dengan bertitik pokok pada SK gubernur Provinsi Riau nomor Kpts.1581/XI/2020 dijelaskan bahwa pada tahun 2021 UMP Provinsi Riau adalah Rp.1,888,563.
Usut demi usut, guna menghindari tanggungjawab yang semestinya dipenuhi, ternyata terdapat pihak lain yang turut menyukseskan niat jahat dari pemberi kerja yang merupakan saudara A.Simangunsong bernama E.Rosita sebagai Himpunan Masyarakat Hemofilia Provinsi Riau. Ia lah yang turut mengurus kelengkapan syarat sebagai penerima dana BPJS kesehatan. Sehingga bak ingin menolong, namun justru mengalihkan tanggungan pemberi kerja kepada negara dengan melakukan tindak pidana memakai akte palsu dan dapat mendatangkan kerugian negara(KUHP pasal 266 ayat (2)).
Dalam keterangan E.Rosita dijelaskan bahwa korban tengah membersihkan kebun sendiri dan tidak menerima upah. Korban membersihkan rumput di sekitar pohon akasia, tanpa disadari, ternyata ada kabel PLN yang sedang terkelupas. Dengan menggunakan parang, sehingga korban terbakar. E.Rosita juga membuat pernyataan bahwa korban adalah keponakannya padahal mereka tidak memiliki hubungan keluarga. Bahkan korbanpun tidak mengenali E.Rosita.
Keterangan palsunya juga sangat bertentangan dengan realita kejadian karena berdasarkan keterangan korban, korban tersebut bukanlah sedang membersihkan rumput namun saat menyingkirkan kabel listrik tegangan tinggi yang menghambat pekerjaan pelebaran jalan tersebut dengan menggunakan galah, tanpa diduga galah tersebut penghantar listrik ke tubuh korban sehingga korban mengalami luka bakar berkisar 40% sampai 50%. Dengan rincian sebagai berikut:
1. Tangan sebelah kiri dan siku ke bawah setelah dirawat RSUD Provinsi Riau diamputasi
2. Jempol tangan kanan setelah dirawat RSUD Provinsi Riau diamputasi
3. Jari kaki kiri dan kaki kanan setelah dirawat RSUD Provinsi Riau diamputasi
4. Luka bakar bagian perut
5. Kaki kiri dan kanan tinggal tulang harus donor daging dari kedua paha
6. Korban butuh darah/donor darah selama operasi besar.
Dengan kalkulasi kerugian negara sebesar Rp.135.979.725 dan kerugian materil korban yaitu hilangnya anggota tubuh, biaya pengobatan dan perawatan diperhitungkan 50 juta rupiah, dan upah/gaji dari Juni 2021 hingga sekarang belum dibayar. Dengan didukung oleh penasihat hukum Nelson Gultom,S.H., korban berjuang demi keadilan. Menurut penasihat hukum korban, segala prosedur telah dilaksanakan. Namun proses hukum masih terbelit-belit.
Sehingga terbesit pembenaran terhadap stigma masyarakat yang mengutarakan bahwa hukum itu-barang-mahal. Bahkan setelah menerima permohonan penindak lanjuti ke dinas ketenagakerjaan Provinsi Riau, tanggapan instansi tersebut yang seharusnya memberikan rasa aman dan keadilan kepada korban justru terkesan memberi isyarat untuk menerima apapun kompensasi yang diberikan oleh A.Simangunsong yaitu sebesar Rp.30.000.000,-(tiga puluh juta rupiah)yang dibayar dengan cicilan.
Masih mengutip keterangan penasihat hukum korban, Dinas tersebut mengatakan bahwa peristiwa ini hanyalah pelanggaran administrasi belaka bukanlah pelanggaran hukum ketenagakerjaan terkhusus tindak pidana. Namun merasa hal ini tidaklah adil dengan total kerugian dan tindak pidana oleh pemberi kerja, korban memilih melanjutkan perkara ini ke instansi yang berwenang(ke BPJS Wilayah Riau). Akhir kata, peristiwa yang menimpa korban adalah cerminan ketidakadilan di negeri ini. Mari kita sama-sama memantau proses hukum ini demi keadilan di negeri ini. Demi tegaknya keadilan bagi korban.
0 Comments
Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)