POLEMIK HAM DI SETIAP MASA KONSTITUSI INDONESIA

Penulis : Geofani Milthree Saragih


hak asasi manusia
Sumber gambar : https://pasberita.com/pengertian-ham__trashed/hak-asasi-manusia/
 


Dikesempatan kali ini, Penulis akan memberikan sebatas pengantar untuk pembahasan kedepannya per periode mengenai "POLEMIK HAM DI SETIAP MASA KONSTITUSI INDONESIA", yang dimulai dari masa pembentukan UUD 1945 hingga masa reformasi. Untuk pembahasan yang lebih kompleks akan dibuat dalam tulisan tersendiri, mari kita mulai dari masa pembentukan UUD 1945.

      A. Masa Pembentukan UUD 1945
Manusia adalah mahkluk hidup politis, kepentingan dan ego tidak dapat dilepaskan dari roh manusia, begitu juga dengan founding father and mother (Istilah yang digunakan oleh Prof. Mahfud MD) kita yang ikut membahas pembentukan UUD 1945. Di dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa saat pembahasan pembentukan UUD 1945 terjadi perbedaan pendapat yang terdiri dari 2 (dua) kelompok, perbedaan pemikiran dan pendapat yang dimaksud adalah mengenai pengaturan HAM dalam UUD 1945. Kelompok yang kontra atas pengaturan mengenai HAM dalam UUD 1945 diwakili oleh Soekarno dan Soepomo. Mereka berdalil bahwa HAM itu merupakan konsepsi yang berasal dari paham individualisme dan liberalisme, padahal negara akan dibentuk berdasarkan pada paham negara kekeluargaan atau gotong royong (integralistik). Maka dari itu menurut mereka apabila HAM diatur dalam UUD 1945, akan mengakibatkan sistem UUD 1945 akan bertentangan dengan konstuksinya. Kelompok yang pro atas pengaturan HAM dalam UUD 1945 diwakili oleh Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Mereka mendalilkan bahwa dengan diaturkannya HAM di dalam UUD 1945, dimaksudkan agar negara yang akan dibentuk tidak menjadi negara atas kekuasaan semata (machtstaat). Oleh karena itu pengaturan terhadap HAM yang dianggap sangat mendasar seperti hak berkumpul dan hak untuk menyatakan pendapat harus diatur dalam UUD 1945. Sebenarnya kalau kita perhatikan sudut pandang kedua belah pihak secara historikal, pihak kontra tidak setuju atas pengaturan HAM di dalam UUD 1945 karena terpengaruh dari gerakan-gerakan revolusi yang terjadi di eropa seperti revolusi prancis pada tahun 1789 yang memang perjuangan hak utamanya adalah hak individu (politik) tanpa memperhatikan ekonomi (dalam hal ini kolektif), yang dimana dikhawatirkan akan terlalu memperjuangkan hak individu (kepentingan) semata tanpa memperhitungkan kepentingan kolektif seperti yang diharapkan dalam konsep gotong royong. Sedangkan pihak pro setuju atas pengaturan HAM dalam UUD 1945 karena begitu banyaknya catatan sejarah yang memperlihatkan absolutisme terutama pada abad 17-18 M yang lazim terjadi, sehingga mendorong beberapa filsuf seperti Jhon Locke dan Montesquieu untuk membuat suatu bentuk pemerintahan yang dapat saling membatasi (antar organ) guna menghindari kekuasaan mutlak suatu pemeritahan/ kerajaan tersebut. Kembali pada perdebatan para founding father and mother tadi, ditarik kesepakatan antara mereka sebagai hasil kompromi, yakni diaturnya beberapa hak dalam UUD 1945 walau pada tahap ini belum diatur dalam bab tersendiri, pengaturan tersebut dimuat dalam : Pasal 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34. UUD 1945 ini pun disahkan pada tanggal 18 agustus 1945.

      B. Masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS)
Pengaturan HAM dalam konstitusi RIS lebih lengkap dari pada pengaturan HAM dalam UUD 1945 asli, hal ini diakarenakan sebelumnya telah terbentuk Universal Declaration Of Human Right oleh PBB atas repon terhadap permintaan masyarakat Internasional pada tahun 1948, apalagi bentuk serikat yang diterapkan di Indonesia pada saat ini merupakan bentuk yang digunakan atas dasar kesepakatan antara Indonesia, Belanda dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) yang disepakati melalui Konfrensi Meja Bundar. Pengaturan HAM dalam KRIS diatur dalam Bagian V yang didalamnya terdapat 27 pasal pengaturan mengenai HAM yakni dari pasal 7 sampai dengan pasal 33. Menurut Prof. Bagir Manan, secara umum pasal-pasal tersebut dikategorikan atas HAM sipil dan HAM politik. Adapun permasalahan yang didapati dalam KRIS mengenai pengaturan HAM akan kita dapati dalam Pasal 33 ayat (1), dimana di dalam pasal tersebut ada ketentuan yang bersifat restriktif, dimana akan dimungkinkan terjadinya manipulasi politis yang dengan sengaja hendak menghapuskan HAM yang telah diakui. Adapun bunyi Pasal 33 ayat (1)  KRIS sebagai berikut, "Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan-kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketentraman kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi".

      C. Masa UUDS 1950
Pada masa ini, pengaturan mengenai HAM secara keseluruhan hampir mirip dengan pengaturan mengenai HAM yang diatur dalam KRIS. Pengaturan HAM juga diatur dalam Bagian V. Pada periode ini dibentuk sebuah badan yang bertugas dalam membentuk dan mengesahkan UUD baru, yakni konstituante. Disebutkan juga oleh Prof. Jimly Asshiddiqie bahwa badan Konstituante ini telah membuat suatu rancangan draft pengaturan tentang HAM. Namun sebelum rampung terjadi polemik politis (menurut beberapa anggapan) dimana Presiden Soekarno berdasarkan Keppres No. 150 Tahun 1959 membubarkan badan Konstituante, dan kemudian memberlakukan kembali UUD 1945 yang asli sebagai dasar negara.

      D. Masa Dekrit Presiden 1959 dan ORLA
Seperti yang telah disebukan sebelumnya, dasar negara Indonesia telah kembali pada UUD 1945 asli berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang berarti pengaturan mengenai HAM dalam UUD 1945 asli kembali berlaku. Pada masa ini mulai terasa adanya kelemahan dalam UUD 1945 yang menimbulkan executive heavy, tidak heran banyak anggapan yang mengatakan bahwa kembalinya ke UUD 1945 ini karena ingin menguatkan kekuasaan Soekarno. Semakin berkuasanya Soekarno atas semua lembaga negara yang ada, membuat terlihat diktatornya pemerintahan masa Soekarno, inilah yang menjadi permasalahan pada masa ini. Perlu dicatat juga pada masa ini, pendapat bahwa pengaturan HAM dalam UUD 1945 sangat bersifat individualisme kembali menguat, bahkan ditambah lagi anggapan keburukannya dengan menyebutkan pengaturan HAM dalam UUD 1945 tersebut bersifat liberal dan kapitalis. 

      E. Masa ORBA 
     Pada tahun 1967, Jendral Soeharto diangakat menjadi Pejabat Presiden, kemudian dikukuhkan menjadi Presiden pada tahun 1968. Supremasi hukum menjadi harapan banyak rakyat Indonesia, namun nyatanya sama dengan pada masa ORLA, pada masa ORBA juga telah hidup kembali pendapat yang mengatakan bahwa pengaturan HAM itu bersifat individualisme, liberalisme dan kapitalisme, tidak heran jika wacana tentang HAM pada masa ORLA hingga ORBA tidak pernah muncul. executive heavy semakin menggila pada masa ini, banyak terjadi pelanggaran dan kejahatan HAM yang tidak terhendus oleh telinga umum, andai terhenduspun akan tenggelam ditelan ketakutan. Hak ini diakibatkan begitu kuatnya kedudukan dan kewibawaan paksa pemerintahan. Pembentukan PETRUS pada masa ORBA merupakan salah satu contoh kecil cara absolut yang akan kita dapati, diksi  Demokrasi Pancasila menjadi dalil pembenar segala tindakan pemerintahan pada saat itu. Ada catatan yang perlu kita perhatikan berdasarkan apa yang disebutkan oleh Prof. Bagir Manan dalam hasil penelitiannya, bahwa pada masa ORBA, secara eksplisit disebut sebagai masa penyangkalan (Denial) oleh Prof. Bagir Manan, Pemerintahan Soeharto yang memperkenalkan Demokrasi Pancasila mendasarkan pandangannya mengenai HAM dengan menggunakan konsepsi Negara Integralistik yang telah dikemukakan oleh Soepomo pada masa pembahasan mengenai pengaturan HAM dalam UUD 1945 yang tampaknya lebih mengegedepankan kewajiban dari pada hak, hal ini juga diperkuat melalui pendapat Soeharto dalam salah satu pidatonya yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kaitan yang sangat erat demgam solidaritas sosialnya, sehingga seseorang harus diselaraskan dengan hak-hak orang lain, hal ini sama dengan teori solidaritas sosial milik Leon Duguit. Dalam kenyataannya, pemerintahan Indonesia pada masa ini banyak mendapat kritikan Internasional yang berhubungan mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM, seperti di Timor-Timur menyusul invasi yang dilakukan oleh Indonesia pada tahun 1975, peristiwa Tanjung Priok, PETRUS, kasus DOM Aceh, kasus Kedung Ombo dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Adapun tuduhan pelanggaran yang disematkan ada beragam jenis, mulai dari pelanggaran berat HAM yang digolongkan dalam pembunuhan ekstra judisial (extra judicial killing), penyiksaan (toture), penahanan sewenang-wenang (arbitrary defenition) dan penghilangan orang secara paksa (enforced disappearance). Intensitas tekanan dunia Internasional terhadap Indonesia semakin kuat, saat meletusnya peristiwa Santa Cruz pada tahun 1991, dimana ratusan penduduk sipil Timor-Timur terbunuh. Sehingga dapat disimpukan, pada masa ini polemik HAM bukan hanya terjadi secara domestik saja, bahkan dari dunia Internasional pun terjadi polemik. Akhirnya pemerintahan ORBA selesai pada tanggal 21 Mei 1998 saat Presiden Soeharto mengundurkan diri, hal ini pada dasarnya diakibatkan semakin kuatnya tekanan dari rakyat Indonesia terkhusus melalui mahasiswa terhadap model pemerintahan Soeharto, terutama dalam hal ini terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang telah terjadi pada masa pemerintahannya.

      F. Masa Reformasi
Pergantian rezim pemerintahan membawa dampak yang penting bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Pengkajian ulang terhadap kebijakan-kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan HAM muali giat dilakukan. Penyesuaian dengan instrumen-instrumen Internasioanl HAM juga ditingkatkan dengan tidak mengkesampingkan kultur Indonesia, karena Secara teori,  HAM yang kita terapkan di Indonesia adalah HAM kultural yakni HAM yang terikat dengan budaya dan agama yang diakui negara (Teori Relativisme Budaya). Pada awal reformasi, MPR menetapkan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, tindakan politis pertama secara yuridis. Berdasarkan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 ini pula UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia diberlakukan. Kemudian secara konstitusinal juga, dalam UUD 1945 telah dibuat bab terkhusus mengatur mengenai HAM, yakni Bab XA UUD 1945. Badan yang berkaitan dengan penegakan HAM juga sudah dibentuk pada masa ini, misalnya Pengadilan HAM yang dibentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2000, KOMNAS HAM dibentuk  berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Namun dari semua usaha-usaha yang telah dibuat oleh pemerintah tersebut, belum dapat menghapuskan luka pelaggaran HAM yang terjadi pada masa ORDE sebelumnnya dan awal reformasi. Yang tercatat hingga tulisan ini dibuat, terdapat 7 (tujuh) kasus pelanggaran HAM berat yang masih tersedat di Kejaksaan Agung. Kasus yang dimaksud adalah tragedi 1965, PETRUS (1982-1985), Peristiwa Talangsari (1989), Kasus penghilangan orang secara paksa (1997-1998), Kerusuhan Mei 1998 : penembakan Trisakti, Semanggi I, Semanggi II (1998-1999) dan kasus Wasior (2000). Belum lagi ada model pelanggaran HAM baru yang marak terjadi dalam masa reformasi ini, yakni kasus-kasus intoleransi agama yang kian meningkat, bahkan merebak juga hingga kejadian-kejadian sentimen SARA dengan korban jiwa yang tidak sedikit, sebut saja kasus konflik antara Ambon dan Maluku sepanjang tahun 1999 dan peristiwa Sampit pada tahun 2001.

Sehingga dapat kita simpulkan, bahwa polemik HAM dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia selalu ada dan Penulis yakini akan ada sampai kapanpun selama sesama manusia yang menetapkan hukumnya, teringat dengan perkataan Thomas Hobbes, bagaimana manusia mau menilai dan menetapkan  suatu kebenaran tentang baik dan buruk, padahal dirinya sendiri tidak luput dari kesalahan? sekian yang dapat saya tuliskan pada hari ini.

Salam Justitia!  

Post a Comment

0 Comments