PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN RUMUS PROF. J. TER HEIDE




DSC 3318
Sumber gambar : https://www.kemenkumham.go.id/berita/peran-penting-mla-dalam-penegakan-hukum-internasional


Prof. Ter Heide merupakan seorang guru besar hukum dari negeri Belanda yang mengajar di Universitas Rotterdam. Beliau merupakan seorang Guru besar hukum di Belanda yang pemikirannya diperhitungkan di Belanda, salah satu teori miliknya yang menarik perhatian para pemerhati hukum adalah rumus B = fPE. Sebelum kita melihat makna dari pada rumus tersebut, ada baiknya Penulis paparkan keterangan dari pada komponen yang ada dalam rumus tersebut sebagai berikut :

B : Tingkah laku dan perilaku law enforcement (para yuris, hakim, legislator)
f  : Hubungan yang ajeg
P : Individu dengan latar belakang hukum yang berbeda
E : kenyataan lapangan

Rumus diatas digunakan sebagai cara untuk memahami jalannya hukum dalam kenyataannya yang dimana menggambarkan tidak mudahnya (tulisan) dalam menegakkan hukum. Manusia sebagai makhluk sosial pasti memiliki latar belakang tersendiri, termasuk dalam hal ini usaha penegakan hukum akan menemukan hal demikian, keadaan faktual (lingkungan) bukanlah satu-satunya yang akan ditemui oleh hukum, tapi juga ada kaidah-kaidah, harapan-harapan (individu maupun kolektif), asas-asas yang memiliki makna penting (dalam suku atau agama misalnya). Atas latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, Prof. Ter Heide memperlihatkan bahwa tindakan yuridik (perbuatan hukum) tidak hanya menerapkan kaidah-kaidah saja, tetapi juga menetapkah kaidah-kaidah, ia menciptakan suatu harapan-harapan, yang dimana akan berusaha untuk mengartikulasikan makna dari pada suatu cakrawala pengalaman tertentu, tindakan disini adalah dalam artian penyesuaian hukum dengan masyarakat. Mari kita kaitkan secara singkat dengan penegakan hukum di Indonesia.

Sudah pasti adanya law enforcement adalah untuk membentuk dan menegakkan hukum yang ada. Dalam kenyataannya, sering tidak sesuai antara teori dan praktik, perbincangan klasik dalam diskusi kita. Hal itu memiliki banyak alasan, salah satunya adalah di mana negara kita telah mengalami kecelakaan sejarah dalam penetapan hukum kita, ya kita kaya akan agama dan suku namun kenapa memaksakan hukum euro sentris pada masyarakat kita?. Tidak heran ada suatu bentuk keteraturan sosial yang telah berada dalam tingkat ajeg yang sulit digeser bahkan oleh hukum itu sendiri. Ajeg adalah suatu bentuk keteraturan sosial yang rutin sebagai hasil dari interaksi sosial yang telah berujung pada pembentukan suatu pelembagaan. Bagaimana kita mau memaksakan hukum eropa kontinental sedangkan masyarakat adat kita secara turun temurun sudah memiliki hukumnya sendiri yang telah dibuat oleh suatu lembaga khusus di dalamnya? Ini adalah penjajahan hukum. law enforcement memiliki tugas yang tidak mudah dalam menegakkan hukum pada kondisi seperti ini, benar bahwa ada asas fiksi, namun Penulis pribadi tidak setuju dengan penerapan asas ini, apakah ini hampir sama dengan hukum para raja-raja absolut yang dulu sangat ditentang oleh Jhon Locke dan Montesquieu?, padahal seperti yang dikatakan oleh Prof. Soerjono Soekanto, bahwa ada beberapa indikator kesadaran atas hukum, dua diantaranya adalah pengetahuan tentang hukum dan pemahaman tentang hukum yang nantinya akan diikuti dua indikator lainnya yaitu sikap terhadap hukum dan berujung pada perlilaku hukum (respon akhir). Kemudian, dalam suatu agama ataupun suku misalnya, pasti memiliki perbedaan lagi di dalamnya. Dalam hal ini Penulis ambil contoh suku batak. Suku batak secara intern akan terbagi lagi atas lima suku, yakni batak toba, batak pakpak, batak karo, batak simalungun dan batak angola, setiap suku intern batak tersebut juga memiliki hukum adatnya masing-masing secara lebih eksplisit lagi, artinya ada juga perbedaan hukum antar individu dalam suku batak. Inilah kenyataan lapangan (konkret) pelaksanaan hukum. Tidak semudah itu, kita bukanlah negara yang sistem hukumnya murni anglo saxon, eropa kontinental, bahkan Nomokrasi Islam. Begitu rumit menetapkan apa sebenarnya teori hukum yang kita anut, mungkin jawaban terbaik adalah Negara Hukum Pancasila dengan dalih konsep prismatik seperti yang dikatakan oleh Prof. Mahfud MD dalam bukunya.

Begitulah rumitnya penegakan hukum di dunia nyata, sehingga Penulis setuju dengan pandangan Plato mengenai adanya dunia Ide, dunia nyata penuh dengan ketidakpastian, sedangkan dunia Ide semuanya dapat diterapkan dengan sebatas pengharapan.

Demikian tulisan saya untuk artikel ini, terimakasih.

Salam Justitia!

Post a Comment

0 Comments