Penulis : Geofani Milthree Saragih
Sumber gambar : https://www.kemenkumham.go.id/berita/peran-penting-mla-dalam-penegakan-hukum-internasional
Prof. Ter Heide merupakan seorang guru besar hukum
dari negeri Belanda yang mengajar di Universitas Rotterdam. Beliau merupakan
seorang Guru besar hukum di Belanda yang pemikirannya diperhitungkan di
Belanda, salah satu teori miliknya yang menarik perhatian para pemerhati hukum adalah
rumus B = fPE. Sebelum kita melihat makna dari pada rumus tersebut, ada baiknya Penulis paparkan keterangan dari pada komponen yang ada dalam rumus tersebut
sebagai berikut :
B : Tingkah
laku dan perilaku law enforcement
(para yuris, hakim, legislator)
f : Hubungan yang ajeg
P : Individu dengan latar belakang hukum yang berbeda
E : kenyataan lapangan
Rumus diatas digunakan sebagai cara untuk memahami jalannya
hukum dalam kenyataannya yang dimana menggambarkan tidak mudahnya (tulisan) dalam
menegakkan hukum. Manusia sebagai makhluk sosial pasti memiliki latar belakang
tersendiri, termasuk dalam hal ini usaha penegakan hukum akan menemukan hal
demikian, keadaan faktual (lingkungan) bukanlah satu-satunya yang akan ditemui
oleh hukum, tapi juga ada kaidah-kaidah, harapan-harapan (individu maupun
kolektif), asas-asas yang memiliki makna penting (dalam suku atau agama
misalnya). Atas latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, Prof. Ter
Heide memperlihatkan bahwa tindakan yuridik (perbuatan hukum) tidak hanya
menerapkan kaidah-kaidah saja, tetapi juga menetapkah kaidah-kaidah, ia
menciptakan suatu harapan-harapan, yang dimana akan berusaha untuk
mengartikulasikan makna dari pada suatu cakrawala pengalaman tertentu, tindakan
disini adalah dalam artian penyesuaian hukum dengan masyarakat. Mari kita
kaitkan secara singkat dengan penegakan hukum di Indonesia.
Sudah pasti adanya law
enforcement adalah untuk membentuk dan menegakkan hukum yang ada. Dalam kenyataannya,
sering tidak sesuai antara teori dan praktik, perbincangan klasik dalam diskusi
kita. Hal itu memiliki banyak alasan, salah satunya adalah di mana negara kita
telah mengalami kecelakaan sejarah dalam penetapan hukum kita, ya kita kaya
akan agama dan suku namun kenapa memaksakan hukum euro sentris pada masyarakat kita?. Tidak heran ada suatu bentuk keteraturan
sosial yang telah berada dalam tingkat ajeg yang sulit digeser bahkan oleh
hukum itu sendiri. Ajeg adalah suatu bentuk keteraturan sosial yang rutin sebagai hasil
dari interaksi sosial yang telah berujung pada pembentukan suatu pelembagaan. Bagaimana
kita mau memaksakan hukum eropa kontinental sedangkan masyarakat adat kita
secara turun temurun sudah memiliki hukumnya sendiri yang telah dibuat oleh
suatu lembaga khusus di dalamnya? Ini adalah penjajahan hukum. law enforcement memiliki tugas yang
tidak mudah dalam menegakkan hukum pada kondisi seperti ini, benar bahwa ada
asas fiksi, namun Penulis pribadi tidak setuju dengan penerapan asas ini,
apakah ini hampir sama dengan hukum para raja-raja absolut yang dulu sangat ditentang
oleh Jhon Locke dan Montesquieu?, padahal seperti yang
dikatakan oleh Prof. Soerjono Soekanto,
bahwa ada beberapa indikator kesadaran atas hukum, dua diantaranya adalah
pengetahuan tentang hukum dan pemahaman tentang hukum yang nantinya akan
diikuti dua indikator lainnya yaitu sikap terhadap hukum dan berujung pada
perlilaku hukum (respon akhir). Kemudian, dalam suatu agama ataupun suku
misalnya, pasti memiliki perbedaan lagi di dalamnya. Dalam hal ini Penulis
ambil contoh suku batak. Suku batak secara intern akan terbagi lagi atas lima
suku, yakni batak toba, batak pakpak, batak karo, batak simalungun dan batak
angola, setiap suku intern batak tersebut juga memiliki hukum adatnya
masing-masing secara lebih eksplisit lagi, artinya ada juga perbedaan hukum
antar individu dalam suku batak. Inilah kenyataan lapangan (konkret)
pelaksanaan hukum. Tidak semudah itu, kita bukanlah negara yang sistem hukumnya
murni anglo saxon, eropa kontinental, bahkan Nomokrasi Islam. Begitu rumit menetapkan apa sebenarnya teori hukum yang kita
anut, mungkin jawaban terbaik adalah Negara Hukum Pancasila dengan dalih konsep
prismatik seperti yang dikatakan oleh Prof.
Mahfud MD dalam bukunya.
Begitulah rumitnya penegakan hukum di dunia nyata, sehingga
Penulis setuju dengan pandangan Plato mengenai
adanya dunia Ide, dunia nyata penuh dengan ketidakpastian, sedangkan dunia Ide
semuanya dapat diterapkan dengan sebatas pengharapan.
Demikian tulisan saya untuk artikel ini, terimakasih.
Salam Justitia!
0 Comments
Silahkan berikan tanggapan dan masukkan Anda :)